Bidadari Surga
Prolog
Sangat sulit tentunya bisa berkumpul bersama bagi mereka yang kini sudah memiliki kesibukan masing-masing, apa lagi sebagian dari mereka kini sudah menikah dan memiliki anak, tapi walaupun sudah berkeluarga, mereka tetap saling menyayangi dan sangat perduli dengan satu sama lainnya. Dan hari ini mereka berkumpul bersama membahas pernikahan Adik bungsu mereka yang berencana ingin segera melepas masa lajangnya.
Dan untuk membahas masalah tersebut mereka memutuskan untuk berkumpul di rumah Ema Salima Salsabilla, karena diantara mereka berlima Ema anak paling tua, sehingga tidak heran kalau mereka menganggap Ema seperti orang tua mereka sendiri setelah kedua orang tua mereka meninggal dunia.
"Kamu serius mau menikah?" Tanya Ema setelah mereka baru saja selesai menyantap makan malam bersama, dan sekarang mereka sedang berkumpul di ruang keluarga.
"Iya aku serius Mbak, aku pikir sudah saatnya aku melepas masa lajangku." Jelas Ana sembari tersenyum yakin dengan keputusannya.
"Menikah itu tidak muda. Tanggung jawab kamu sebagai seorang wanita akan bertambah?" Ujar Elvi sambil mengambil keripik singkong kesukaannya yang ada di atas meja.
"Benar apa yang dikatakan Mbak Elvi Ana, apa lagi calon Suami kamu kerjanya saat ini gak jelas, aku takut nanti kamu bernasib sama denganku." Ina mengingatkan saudaranya tentang bagaimana nasibnya saat ini.
Ina yang usianya hanya terpaut satu tahun dari adiknya, memang sudah menikah dua tahun yang lalu, tapi kehidupan rumah tangganya tidak begitu harmonis, karena Suaminya hanyalah seorang pengangguran, membuatnya kini menjadi tulang punggung keluarga.
"Husst... kamu gak boleh ngomong seperti itu." Sergah Emi kepada Adiknya.
"Ingat dulu kamu yang memilih Hasan untuk menjadi Suami kamu, bukannya dulu Mbak sudah ingatkan kamu!" Ujar Ema menasehati Adiknya, yang di nasehati hanya diam saja.
"Seharusnya kamu bersyukur sudah meiliki pendamping hidup yang menyayangi kamu, dan selama ini Mbak lihat Suami kamu sudah berkerja keras mencari pekerjaan, dia bukan orang yang pemalas hanya duduk diam di rumah." Timpal Emi, sambil mendesah lirih.
"Sudah... sudah... saat ini kita sedang membahas pernikahan Ana!" Lerai Elvi.
Kemudian mereka kembali sibuk membahas pernikahan Anna, dan di lanjut dengan mengobrol ringan bercanda gurai. Rasanya sudah lama mereka tidak seperti saat ini, bisa saling menasehati, memberi masukan dan bercanda santai sambil tertawa ringan.
Tak terasa waktu terus berputar, hingga akhirnya satu persatu dari mereka pulang kerumah masing-masing, kecuali Anna yang masih tinggal di kamar kossan.
###
Satu…
Ema Salima Salsabila
Seperti biasanya, aku bangun lebih awal. Menyiapkan semua keperluan Suami dan anak gadisku. Di mulai dari memasak yang di bantu oleh Inem, selesai memasak, aku segera kembali kekamarku, membangunkan Suamiku yang masih terlelap.
Perlahan aku duduk di tepian tempat tidur, cukup lama aku memandangi wajah Suamiku.
Tidak terasa sudah tujuh belas tahun lebih kami menikah, hingga kami melahirkan seorang Putri yang begitu cantik, dan membanggakan.
"Bangun Mas!" Panggilku lirih…
Tubuh Mas Tio menggeliat, dengan perlahan ia membuka matanya dan kemudian tersenyum kearahku. "Jam berapa sekarang?" Tanyanya dengan suara yang serak.
"Sudah jam lima, ayo bangun!" Pintaku.
Tapi tiba-tiba Mas Tio memeluk pinggangku menjatuhkanku diatas tempat tidur kami. Lalu dia mulai menyerangku, mencium sekujur wajahku, dan terakhir ia memanggut bibirku lembut penuh kasih sayang.
"Mas... nanti anak kita Asifa kesiangan loh!" Kataku mengingatkannya.
Dia membelai wajahku. "Ini hanya sebentar kok sayang, boleh ya..." Bujuknya, tapi tanpa menunggu jawaban dariku dia melucuti celana piyamaku berikut dengan celana dalam yang aku kenakan.
Kalau sudah begini aku hanya pasrah membiarkan dirinya menuntaskan birahinya. Bukankah ini sudah menjadi tugasku sebagai seorang Istri yang wajib melayani Suaminya. Dalam kondisi apapun aku tidak boleh menolaknya, karena surgaku ada di rhidonya.
Dengan perlahan kurasakan penis Suamiku yang menyeruak masuk kedalam vaginaku yang masih kering. "Aaahkk..." Aku merintih pelan.
Dengan ritme pelan Suamiku mulai menggerakan pinggulnya maju mundur, hingga akhirnya akupun mulai terangsang dan menikmati setiap gesekan yang terjadi antara kelamin kami berdua.
"Kamu sangat cantik sekali, walaupun sudah tidak muda lagi, tapi wajah dan bentuk tubuhmu sama seperti anak remaja pada umumnya." Aku tersipu malu mendengar pujiannya terhadapku.
"Aahk... Mas bisa aja! "
"Mas tidak berbohong sayang, dan... Aahkk..." Tubuh Suamiku bergetar dan kemudian kurasakan lelehan hangat masuk kedalam rahimku.
Tubuhnya ambruk kesamping tubuhku dengan nafas yang memburu. Dia menatapku sebagai ungkapan terimakasih, dan aku menjawabnya dengan tersenyum semanis mungkin.
Segera aku mengenakan kembali celanaku, membiarkan Suamiku beristirahat sejenak sementara aku membangunkan anak semata wayangku yang tentunya saat ini masih tertidur lelap. Setelah membangunkan mereka berdua, aku kembali di sibukan menyiapkan sarapan mereka berdua.
Tugasku baru berakhir ketika mereka berdua meninggalkan rumah dan sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.
Selesai mandi, aku berencana untuk bersantai sejenak di depan tv, tapi siapa yang menyangkah aku malah ketiduran di depan tv. Bangun-bangun tubuhku terasa begitu sakit, sepertinya aku sangat kelelahan apa lagi tubuhku sudah lama tidak di pijit.
Lebih baik aku meminta Inem memijittiku sebentar, siapa tau habis itu tubuhku tidak pegel lagi.
Aku berjalan santai menuju kamar Inem yang berada di dekat dapur, setibanya aku hendak mengetuk kamar Inem, tapi tiba-tiba langkahku terhenti saat mendengar suara yang aneh dari dalam kamar Inem, suara desahan yang sangat familiar di telingaku
Tanpa mengetuk pintu lagi aku membuka kamar Inem dan benar saja. "Astafirullah... kalian ngapain?" Aku memekik kaget saat melihat Inem sedang berada diatas selangkangan Pak Rusman, sementara di belakangnya ada Pak Darto.
"I...ibu!" Panik Inem.
Tapi kedua pria pembantuku itu seolah tak perduli dengan kehadiranku, mereka masi saja menyetubuhi Inem pembantuku, membuatku marah dan sangat geram dengan kelakuan mereka yang kurang ajar.
Aku bertekad akan melaporkan perbuatan zina mereka, kepada Suamiku, dan memecat mereka semua.
Aku hendak meninggalkan kamar Inem, tapi tiba-tiba seseorang memeluk pinggangku dan kemudian menarikku masuk kedalam, belum sadar akan bahaya yang menimpaku, tiba-tiba Ujang menutup pintu kamar Inem dan menguncinya dari dalam.
"Mau apa kamu Jang?" Aku membentaknya marah.
Ujang hanya tersenyum dan kemudian ia melucuti pakaiannya hingga telanjang bulat. "Ya Tuhaan..." Aku meringis ketakuttan.
###
Emi Sulia Salvina
"Assalamualaikum!"
Aku masih berada di dapur saat mendengar salam dari putra semata wayangku. Aku segera menuju pintu rumah utama, kulihat putraku sedang menangis, pakaiannya berantakan, dan wajahnya terlihat memar, bahkan bibirnya sedikit berdarah.
"Astafirullah!" Ucapku kaget, lalu aku memeluk anakku, dan mengajak masuk kedalam rumah.
Aku segera mengambil obat di dalam kotak p3k milikku, lalu kembali menemani putraku, kusuruh ia untuk tidur diatas pangkuanku, lalu dengan perlahan aku mengobati luka di wajahnya.
Ya Tuhan... siapa yang begitu tega memukul anakku, ini sudah kesekian kalinya aku melihat Toni pulang dalam keadaan terluka.
Kali ini aku harus berhasil memaksa Toni untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi terhadap dirinya. Dan aku harus tau siapa yang telah berani memukul anakku, hingga ia babak belur seperti ini.
"Masi sakit Ton?" Tanyaku setelah mengobati luka di wajahnya.
"Iya Bun, rasanya sakit banget!"
"Cerita sama Bunda, siapa yang sudah berani mukulin kamu, biar nanti Bunda yang menghukum mereka." Jelasku, sambil mengusap lembut pipi anakku yang mewar akibat pukulan.
Toni tertenduk, dia tak berani menatap mataku. "Gak ada Bunda." Jawabnya, jelas kalau dia sedang berbohong, luka ini tidak mungkin ada kalau dia tidak di pukuli.
"Bilang sama Bunda, siapa yang sudah memukul kamu? kamu pasti tidak mau di pukulin lagi kan?" Tanyaku pelan dengan nada lirih.
Toni mengangkat wajahnya dan kemudian tersenyum, tapi dia tetap.diam tidak mau memberi tauku, siapa yang telah berani memukulinya. Aku mendesah pelan lalu kembali aku memeluknya dengan sangat erat.
Tak lama kemudian seorang pemuda menghampiriku yang sedang memeluk putraku.
"Baru pulang Wan?"
"Iya Bun, dia kenapa lagi Bun, kok mukanya bonyok gitu?" Tanya Irwan, melihat kearah wajah Toni yang lebam karena di pukulin.
Kulihat dia tampak begitu khawatir, dia segera menarik pundak anakku, dan melihat wajah anakku dari dekat. Kulihat Irwan tampak kesal setelah melihat wajah Toni yang berantakan.
Tidak heran kalau Irwan tampak marah melihat wajah Toni yang terluka, mengingat Irwan adalah keponakan dari Suamiku, secara tidak langsung dia adalah Kakak dari anakku.
"Siapa yang mukulin Adek Bun?"
"Toni belum mau cerita! Ya sudah kamu istirahat dulu ya sayang, Bunda mau masak dulu, kamu juga ya Wan!" Kataku kepada mereka berdua.
"Iya Bun." Jawab Toni, lalu dia beralu kekamarnya.
"Aku mau nemanin Bunda masak, bolehkan Bun?" Tanya Irwan, aku tersenyum, dia memang anak yang baik, selalu mau membantuku, meringangkan pekerjaanku.
Semenjak tinggal di rumah kami, Irwan memang sudah terbiasa memanggilku dengan panggilan Bunda, sama seperti putraku memanggilku.
"Yakin?"
"Sangat yakin, kapan lagi bisa bantuin Bunda yang cantik!" Jawab Irwan, aku hanya tertawa renyah mendengar gombolannya.
######
Elvina
Aku baru saja tiba di rumah sekitar jam lima sore, baru saja aku memarkir mobil honda jazz milikku, tiba-tiba seorang wanita mudah mengenakan mini dress berwarna merah keluar dari dalam rumah. Dia sempat melihatku lalu tersenyum meninggalkan rumah.
Aku mendengus kesal, ini pasti ulah mertuaku yang lagi-lagi menyewa psk.
Aku tau dia seorang duda, tapi menyewa psk dan membawanya kerumahku tentu ini sudah sangat keterlaluan, apa lagi ini bukan kali pertama aku melihat dia membawa masuk psk kedalam rumahku, tapi ini sudah untuk kesekian kalinya.
Bahkan perna suatu hari, ketika aku pulang lebih awal dari kantor tempatku bekerja, aku memergoki Bapak Mertuaku sedang bercumbu mesrah dengan seorang psk di dalam kamarku.
Tentu saja aku marah dan mengusirnya keluar, tapi setelah itu aku tidak perna mengungkitnya lagi, bahkan aku tidak mengadu ke Suamiku, aku memilih diam dan berharap suatu hari nanti Mertuaku mau bertaubat.
"Astafirullah!" Aku beristifar pelan.
Aku tidak boleh emosi seperti ini, setiap masalah pasti akan ada jalan keluarnya.
Segera aku masuk kedalam rumahku, kulihat Mertuaku sedang duduk sambil menonton tv. Seeperti biasanya, walaupun aku merasa kesal dengan tingkahnya, aku tetap berlaku sopan kepadanya.
"Pak!" Sapaku, lalu mengamit tangannya dan mencium tangannya.
"Baru pulang Vi?" Tanyanya.
Aku mengangguk sembari tersenyum.
"Maaf Pak cewek tadi yang baru keluar siapa ya?" Tanyaku dengan sopan, dia melihatku sejenak, lalu kembali mengarahkan matanya kelayar tv.
"Dia teman Bapak, tadi cuman mampir!"
Sebenarnya aku ingin sekali marah kepadanya, menegurnya dengan keras, tapi aku takut hubunganku dengannya akan menjadi buruk, tentu saja masalah ini akan berimbas terhadap Suamiku. Aku tidak ingin membuat Suamiku khawatir.
Aku lebih memilih diam, dan segera masuk kedalam kamarku yang sunyi, karena tiga hari ini Suamiku sedang berada di luar kota.
Segera aku membuka pakaianku hingga telanjang bulat, lalu kuambil handukku, dan berjalan santai menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar mandi. Kugantungkan handukku di belakang pintu, lalu sambil bernyanyi riang aku membiarkan air shower membasuh tubuhku.
Kuambil sabun cair, dan kutumpahkan sabun itu di kedua tanganku, lalu dengan perlahan kedua tanganku yang penuhi sabun, mulai bergerilya di tubuhku, membelai perutku yang ramping terus naik hingga keatas payudarahku. "Aahkk...!" Aku merintih pelan ketika jari nakalku menyentuh puttingku.
Lagi-lagi aku seperti ini, padahal baru tiga hari Suamiku pergi, tapi aku sudah sangat merasa kesepian.
"Aahkk... Mas, aku merindukanmu!" Bisikku lirih.
Kedua tanganku semakin intens merangsang payudarahku, meremasnya dengan perlahan, memilin puttingku, membuat wajahku mengada keatas sanking nikmatnya.
Perlahan tangan kananku turun kebawah, lalu kuselipkan jari tengahku kedalam bibir vaginaku yang semakin basah karena lendir precum yang keluar dari vaginaku seakan tak mau berhenti. "Ohk!" Kembali aku merintih, membayangkan Suamiku yang saat ini sedang menyetubuhiku seperti biasanya.
Semakin lama jariku bergerak semakin cepat, hingga akhirnya aku tidak tahan lagi, dan... "Aaaahkk.." Aku memekik cukup keras seiring dengan orgasme yang telah aku dapatkan.
Astaga... lagi-lagi aku bermasturbasi, lama-lama aku tidak kuat kalau harus begini terus.
Mas cepatlah pulang....
###
0 Response to "Bidadari Surga"
Post a Comment